Susatyo Yuwono
Ketua Himpsi
cabang Solo
Bangsa Indonesia sudah memasuki babak baru dalam
perpolitikan sejak akhir tahun 1990-an, dimana masa demokrasi orde reformasi lebih terbuka
daripada jaman orde baru. Bayangan masa
depan yang lebih cerah langsung menyeruak begitu reformasi bergulir. Namun
demikian, sudah lebih dari 14 tahun periode reformasi ini berjalan, bayangan
itu masih berupa angan yang jauh dari kenyataan. Jangankan prestasi, yang
muncul justru adalah kenyataan-kenyataan yang menggambarkan makin terpuruknya
masa depan bangsa ini.
Model
orde reformasi yang tidak lebih baik dari orde baru makin nampak nyata sejalan
dengan terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan hampir semua lini
pemerintahan maupun swasta. Tidak hanya eksekutif dan legislatif, namun pihak
yudikatif yang mestinya menjadi penjaga kewibawaan hukum ternyata banyak yang
terlibat pula. Kasus ketua MK dan beberapa jaksa, hakim dan aparat penegak
hukum lainnya makin membenarkan keterpurukan ini.
Di
sisi lain, pesta demokrasi yang diharapkan menjadi pintu gerbang perbaikan
nampaknya juga makin jauh dari angan. Hingar bingar dalam setiap pemilu belum
mampu mewujudkan harapan masyarakat. Kemunculan para caleg yang belum sesuai
harapan dan perilaku kampanye yang tidak mencerminkan arah perbaikan
menunjukkan indikasi angan ini masih sebatas mimpi. Black campaign masih menjadi isu paling dominan untuk menjaring
simpati masyarakat. Fitnah bertebaran disertai dengan perilaku yang cenderung
menerjang semua aturan yang berlaku seakan menjadi pedoman baku dalam
berkampanye.
Artikel
berikut akan mengupas sebagian dari sisi perilaku kampanye dari aspek
psikologis. Sebagaimana dipahami bahwa aspek psikologi ini seringkali
diabaikan, dan hampir seluruh unsur partai dan simpatisan lebih mengedepankan
aspek fisik saja.
Raih Simpati Tanpa Empati
Tujuan
kampanye sesungguhnya adalah mengenalkan partai dan para calon wakil rakyat kepada
para calon pemilihnya. Untuk dapat meraih tujuan tersebut, maka dibutuhkan
adanya upaya dari partai maupun calon untuk mengenalkan diri, siapa dia,
programnya apa, dan manfaatnya untuk masyarakat apa. Ini adalah bahasa lain
dari visi dan misi partai maupun calon.
Upaya
meraih tujuan tersebut dilakukan dengan beragam cara, mulai dari produk cetak
seperti liflet, poster, baliho, spanduk, kalender, buku, stiker, dan
sebagainya, hingga produk media elektronik seperti iklan TV dan internet.
Banyak jenis dan versi dari produk tersebut yang kemudian disebarkan melalui
berbagai media, seperti pohon, tembok, selipan koran, dan sebagainya.
Sesuai
tujuannya, maka bahasa yang digunakan di dalamnya adalah bahasa persuasif untuk
menjaring simpati masyarakat calon pemilih. Bisa dipastikan bahasa yang positif
dan menyenangkan batin masyarakat akan dipilih. Harapannya tentu bagaimana
masyarakat menjadi merasa cocok dan akhirnya mau menjatuhkan pilihannya kepada
sang partai dan calonnya.
Namun
demikian, tidak jarang upaya ini justru secara tidak sadar dapat menjadi
bumerang bagi partai dan calon terkait. Apalagi kalau bukan karena cara yang
digunakan dirasakan membuat perasaan masyarakat justru menjadi tidak nyaman.
Misalnya adalah black campaign, yang
sering mengumbar keburukan calon atau partai lain demi meraih popularitas
pribadi.
Semakin
sadarnya sebagian besar masyarakat akan haknya atas informasi terbuka dan
pilihan yang bebas dalam pemilu mendorong masyarakat untuk mencari tahu
seluas-luasnya tentang partai maupun calon yang ada. Informasi ini tersedia
dalam berbagai sumber, terutama dari media maya internet, yang sudah menjadi
sarana komunikasi yang lazim pada era sekarang. Masyarakat akhirnya akan paham,
sesungguhnya siapa yang benar dan cocok dengan dirinya, sehingga tanpa
menggunakan black campaign pun
mestinya calon mampu meraih perhatian ini. Seringkali justru black campaign akhirnya menjadikan
masyarakat antipati, bukan simpati, terhadap calon yang menyuarakannya. Antipati
karena calon justru tidak menonjolkan keunggulannya namun justru
menjelek-jelekkan orang lain.
Perilaku
lain yang cenderung menjadi bumerang adalah perilaku konvoi para simpatisan
ataupun penggembira partai dan calonnya. Konvoi di jalan seringkali dilakukan
dalam jumlah yang besar sehingga memenuhi sebagian besar badan jalan.
Pelanggaran terhadap peraturan dan hukum sudah tidak lagi diperhatikan. UU Lalu
lintas yang secara jelas mengatur bagaimana berkendara yang aman nyata-nyata
dilanggar. Perlengkapan motor tidak standar, perilaku berkendara yang tidak
aman, hingga hilangnya sopan santun terhadap pengguna jalan lainnya seakan
sudah menjadi atribut yang wajib ada.
Sungguh
sangat miris hati ini melihat kenyataan di atas. Laju motor yang ngawur,
kibasan bendera dan pentungan, suara knalpot yang memekakkan telinga, dan
ekspresi wajah yang seakan tiada dosa membuat perasaan ini seakan ingin
menangis. Mereka masih muda, sangat potensial untuk masa depan bangsa ini,
namun memilih jalan aktualisasi diri yang salah dengan seperti itu.
Sebagai
pengguna jalan, ketidaknyamanan sangat terasa ketika ada sebagian orang yang
bersikap arogan dalam berkendara.Semua pengguna pasti memiliki perasaan yang
sama, miris, kecewa, takut, cemas dan tertekan. Keberingasan yang menakutkan
perasaan para pengguna jalan lainnya. Takut menjadi korban dari sebuah kebuasan
yang arogan, sehingga memilih untuk minggir, berhenti, mencari jalan lain, atau
yang paling parah masyarakat memilih untuk tidak keluar rumah daripada menjadi
korban.Secara psikologis jelas dominan rasa tidak nyaman yang muncul saat
kampanye seperti itu. Hal ini sangat kontradiktif dengan tujuan kampanye, yaitu
menjaring perhatian dan simpati masyarakat agar bersedia memilih.
Apa
yang dilakukan oleh para peserta kampanye menunjukkan ketidakmampuan mereka
untuk menempatkan diri sebagai anggota masyarakat. Psikologi mengenal ini
sebagai empati. Mereka tidak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh
masyarakat. Apakah ini karena mereka tidak memahami apa akibat perilaku mereka?
Rasanya tidak mungkin mereka tidak paham, karena mereka sendiri ternyata sudah
mengantisipasi semua ketidaknyamanan dengan tutup kuping supaya tidak budeg. Dengan demikian, ketidaknyamanan
ini sesungguhnya sudah diperkirakan. Namun mengapa tetap dilakukan? Hal ini
tentu mengingatkan kita pada pepatah, kalau tidak ingin dicubit karena sakit,
ya janganlah mencubit.
Hilangnya
empati ini menunjukkan parahnya kondisi mental para peserta kampanye, sekaligus
menjadikan kita yang masih punya perasaan ini prihatin karena calon generasi bangsa
sudah berguguran sebelum mampu berkembang secara optimal. Calon wakil rakyat
serta partainya juga harus bertanggung jawab dengan hal ini. Sebagai calon
pemimpin, mereka mestinya paham, atau jangan-jangan juga punya mental yang sama
juga.
Pemimpin
tanpa empati maka tidak ada harapan manfaatnya bagi masyarakat, karena dia
tidak akan mampu merasakan kebutuhan masyarakat. Yang ada hanyalah nafsu dan
keinginan pribadi semata. Kalau perlu, injak sana tendang sini untuk memperoleh
keuntungan sendiri. Tentu ini bukan karakter pemimpin yang ideal untuk kita
kan?
Solusi
Keprihatinan
ini sudah menjadi modal awal yang besar bagi bangsa ini. Kalau boleh optimis,
maka masih banyak masyarakat yang dapat berpikir sehat dan bersikap cerdas
dalam menghadapi pemilu ini. Sehingga optimisme untuk berubah ke depannya masih
sangat terbuka. Untuk itu, perlu dilakukan segera intervensi yang memadai untuk
mengubah karakter para generasi muda ini agar ke depannya lebih siap dalam
berpolitik.
Hal
ini dapat dilakukan antara lain dengan tetap menjadikan pendidikan agama
sebagai panglima, mengingat sudah terbukti dari berbagai kajian ilmiah maupun
ranah praktisnya bahwa ibadah mampu mengarahkan seseorang kepada karakter yang
unggul. Contoh karakter sahabat Nabi SAW yang mampu menaklukkan sebagian besar
dunia waktu itu menunjukkan unggulnya karakter orang yang menjalankan agama
dengan sungguh-sungguh.
Pendekatan
lain dapat dilakukan melalui pendidikan moral di sekolah. Model penanaman nilai
secara formal di sekolah perlu diimbangi dengan tataran praktisnya di
masyarakat. Orangtua dan anggota masyarakat lainnya perlu memberikan suasana
yang sesuai untuk pendidikan moral ini. Misalnya dengan memberikan contoh atau
teladan yang baik bagi anak-anak di seluruh aspek kehidupan.
Perilaku
cerdas dalam memilih menjadi solusi yang paling tepat dalam jangka pendek.
Khusus dalam menghadapi pemilu ini, masyarakat diharapkan
lebih jernih dan matang dalam mempertimbangkan pilihannya. Kalau memang sebuah
partai dan calon dirasakan banyak memunculkan ketidaknyamanan, maka janganlah
dipilih. Pilihlah mereka yang memunculkan suasana yang teduh dan jauh dari
perasaan terancam. Program juga penting, namun perilaku nyata di lapangan sudah
bisa dijadikan acuan dalam menjatuhkan pilihan. Sehingga, jangan bingung
memilih, mari kita ubah kondisi bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Penulis :
Ketua Himpunan
Psikologi Indonesia (Himpsi) cabang Solo, Dosen Univ Muhammadiyah Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar