Senin, 02 Juni 2014

KONTRADIKSI KAMPANYE : MENCARI SIMPATI TANPA EMPATI

Susatyo Yuwono
Ketua Himpsi cabang Solo


Bangsa Indonesia sudah memasuki babak baru dalam perpolitikan sejak akhir tahun 1990-an, dimana masa demokrasi orde reformasi lebih terbuka daripada jaman orde baru. Bayangan masa depan yang lebih cerah langsung menyeruak begitu reformasi bergulir. Namun demikian, sudah lebih dari 14 tahun periode reformasi ini berjalan, bayangan itu masih berupa angan yang jauh dari kenyataan. Jangankan prestasi, yang muncul justru adalah kenyataan-kenyataan yang menggambarkan makin terpuruknya masa depan bangsa ini.
Model orde reformasi yang tidak lebih baik dari orde baru makin nampak nyata sejalan dengan terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan hampir semua lini pemerintahan maupun swasta. Tidak hanya eksekutif dan legislatif, namun pihak yudikatif yang mestinya menjadi penjaga kewibawaan hukum ternyata banyak yang terlibat pula. Kasus ketua MK dan beberapa jaksa, hakim dan aparat penegak hukum lainnya makin membenarkan keterpurukan ini.


Di sisi lain, pesta demokrasi yang diharapkan menjadi pintu gerbang perbaikan nampaknya juga makin jauh dari angan. Hingar bingar dalam setiap pemilu belum mampu mewujudkan harapan masyarakat. Kemunculan para caleg yang belum sesuai harapan dan perilaku kampanye yang tidak mencerminkan arah perbaikan menunjukkan indikasi angan ini masih sebatas mimpi. Black campaign masih menjadi isu paling dominan untuk menjaring simpati masyarakat. Fitnah bertebaran disertai dengan perilaku yang cenderung menerjang semua aturan yang berlaku seakan menjadi pedoman baku dalam berkampanye.
Artikel berikut akan mengupas sebagian dari sisi perilaku kampanye dari aspek psikologis. Sebagaimana dipahami bahwa aspek psikologi ini seringkali diabaikan, dan hampir seluruh unsur partai dan simpatisan lebih mengedepankan aspek fisik saja.

Raih Simpati Tanpa Empati

Tujuan kampanye sesungguhnya adalah mengenalkan partai dan para calon wakil rakyat kepada para calon pemilihnya. Untuk dapat meraih tujuan tersebut, maka dibutuhkan adanya upaya dari partai maupun calon untuk mengenalkan diri, siapa dia, programnya apa, dan manfaatnya untuk masyarakat apa. Ini adalah bahasa lain dari visi dan misi partai maupun calon.
Upaya meraih tujuan tersebut dilakukan dengan beragam cara, mulai dari produk cetak seperti liflet, poster, baliho, spanduk, kalender, buku, stiker, dan sebagainya, hingga produk media elektronik seperti iklan TV dan internet. Banyak jenis dan versi dari produk tersebut yang kemudian disebarkan melalui berbagai media, seperti pohon, tembok, selipan koran, dan sebagainya.
Sesuai tujuannya, maka bahasa yang digunakan di dalamnya adalah bahasa persuasif untuk menjaring simpati masyarakat calon pemilih. Bisa dipastikan bahasa yang positif dan menyenangkan batin masyarakat akan dipilih. Harapannya tentu bagaimana masyarakat menjadi merasa cocok dan akhirnya mau menjatuhkan pilihannya kepada sang partai dan calonnya.
Namun demikian, tidak jarang upaya ini justru secara tidak sadar dapat menjadi bumerang bagi partai dan calon terkait. Apalagi kalau bukan karena cara yang digunakan dirasakan membuat perasaan masyarakat justru menjadi tidak nyaman. Misalnya adalah black campaign, yang sering mengumbar keburukan calon atau partai lain demi meraih popularitas pribadi.
Semakin sadarnya sebagian besar masyarakat akan haknya atas informasi terbuka dan pilihan yang bebas dalam pemilu mendorong masyarakat untuk mencari tahu seluas-luasnya tentang partai maupun calon yang ada. Informasi ini tersedia dalam berbagai sumber, terutama dari media maya internet, yang sudah menjadi sarana komunikasi yang lazim pada era sekarang. Masyarakat akhirnya akan paham, sesungguhnya siapa yang benar dan cocok dengan dirinya, sehingga tanpa menggunakan black campaign pun mestinya calon mampu meraih perhatian ini. Seringkali justru black campaign akhirnya menjadikan masyarakat antipati, bukan simpati, terhadap calon yang menyuarakannya. Antipati karena calon justru tidak menonjolkan keunggulannya namun justru menjelek-jelekkan orang lain.
Perilaku lain yang cenderung menjadi bumerang adalah perilaku konvoi para simpatisan ataupun penggembira partai dan calonnya. Konvoi di jalan seringkali dilakukan dalam jumlah yang besar sehingga memenuhi sebagian besar badan jalan. Pelanggaran terhadap peraturan dan hukum sudah tidak lagi diperhatikan. UU Lalu lintas yang secara jelas mengatur bagaimana berkendara yang aman nyata-nyata dilanggar. Perlengkapan motor tidak standar, perilaku berkendara yang tidak aman, hingga hilangnya sopan santun terhadap pengguna jalan lainnya seakan sudah menjadi atribut yang wajib ada.
Sungguh sangat miris hati ini melihat kenyataan di atas. Laju motor yang ngawur, kibasan bendera dan pentungan, suara knalpot yang memekakkan telinga, dan ekspresi wajah yang seakan tiada dosa membuat perasaan ini seakan ingin menangis. Mereka masih muda, sangat potensial untuk masa depan bangsa ini, namun memilih jalan aktualisasi diri yang salah dengan seperti itu.
Sebagai pengguna jalan, ketidaknyamanan sangat terasa ketika ada sebagian orang yang bersikap arogan dalam berkendara.Semua pengguna pasti memiliki perasaan yang sama, miris, kecewa, takut, cemas dan tertekan. Keberingasan yang menakutkan perasaan para pengguna jalan lainnya. Takut menjadi korban dari sebuah kebuasan yang arogan, sehingga memilih untuk minggir, berhenti, mencari jalan lain, atau yang paling parah masyarakat memilih untuk tidak keluar rumah daripada menjadi korban.Secara psikologis jelas dominan rasa tidak nyaman yang muncul saat kampanye seperti itu. Hal ini sangat kontradiktif dengan tujuan kampanye, yaitu menjaring perhatian dan simpati masyarakat agar bersedia memilih.
Apa yang dilakukan oleh para peserta kampanye menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk menempatkan diri sebagai anggota masyarakat. Psikologi mengenal ini sebagai empati. Mereka tidak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Apakah ini karena mereka tidak memahami apa akibat perilaku mereka? Rasanya tidak mungkin mereka tidak paham, karena mereka sendiri ternyata sudah mengantisipasi semua ketidaknyamanan dengan tutup kuping supaya tidak budeg. Dengan demikian, ketidaknyamanan ini sesungguhnya sudah diperkirakan. Namun mengapa tetap dilakukan? Hal ini tentu mengingatkan kita pada pepatah, kalau tidak ingin dicubit karena sakit, ya janganlah mencubit.
Hilangnya empati ini menunjukkan parahnya kondisi mental para peserta kampanye, sekaligus menjadikan kita yang masih punya perasaan ini prihatin karena calon generasi bangsa sudah berguguran sebelum mampu berkembang secara optimal. Calon wakil rakyat serta partainya juga harus bertanggung jawab dengan hal ini. Sebagai calon pemimpin, mereka mestinya paham, atau jangan-jangan juga punya mental yang sama juga.
Pemimpin tanpa empati maka tidak ada harapan manfaatnya bagi masyarakat, karena dia tidak akan mampu merasakan kebutuhan masyarakat. Yang ada hanyalah nafsu dan keinginan pribadi semata. Kalau perlu, injak sana tendang sini untuk memperoleh keuntungan sendiri. Tentu ini bukan karakter pemimpin yang ideal untuk kita kan?

Solusi

Keprihatinan ini sudah menjadi modal awal yang besar bagi bangsa ini. Kalau boleh optimis, maka masih banyak masyarakat yang dapat berpikir sehat dan bersikap cerdas dalam menghadapi pemilu ini. Sehingga optimisme untuk berubah ke depannya masih sangat terbuka. Untuk itu, perlu dilakukan segera intervensi yang memadai untuk mengubah karakter para generasi muda ini agar ke depannya lebih siap dalam berpolitik.
Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan tetap menjadikan pendidikan agama sebagai panglima, mengingat sudah terbukti dari berbagai kajian ilmiah maupun ranah praktisnya bahwa ibadah mampu mengarahkan seseorang kepada karakter yang unggul. Contoh karakter sahabat Nabi SAW yang mampu menaklukkan sebagian besar dunia waktu itu menunjukkan unggulnya karakter orang yang menjalankan agama dengan sungguh-sungguh.
Pendekatan lain dapat dilakukan melalui pendidikan moral di sekolah. Model penanaman nilai secara formal di sekolah perlu diimbangi dengan tataran praktisnya di masyarakat. Orangtua dan anggota masyarakat lainnya perlu memberikan suasana yang sesuai untuk pendidikan moral ini. Misalnya dengan memberikan contoh atau teladan yang baik bagi anak-anak di seluruh aspek kehidupan.
Perilaku cerdas dalam memilih menjadi solusi yang paling tepat dalam jangka pendek. Khusus dalam menghadapi pemilu ini, masyarakat diharapkan lebih jernih dan matang dalam mempertimbangkan pilihannya. Kalau memang sebuah partai dan calon dirasakan banyak memunculkan ketidaknyamanan, maka janganlah dipilih. Pilihlah mereka yang memunculkan suasana yang teduh dan jauh dari perasaan terancam. Program juga penting, namun perilaku nyata di lapangan sudah bisa dijadikan acuan dalam menjatuhkan pilihan. Sehingga, jangan bingung memilih, mari kita ubah kondisi bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Penulis :
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) cabang Solo, Dosen Univ Muhammadiyah Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar